Sambil Istirahat mari kita lihat sejarah “Wali songo” penyebar Agama
Islam di Indonesia. Kadang kita lupa akan perjuangan para leluhur yang
di anggap cerita penghantar tidur. Bahkan kadang ada pula yang belum
tahu sama sekali siapa itu “Wali songo”. Walaupun pernah mendengarnya
tapi penulis sendiri kadang bila di suruh menyebutkan siapa saja “Wali
songo?” penulis masih bingung, lupa dan menyesal. Kenapa menyesal?
Karena kenapa penulis tidak hafal para leluhur “Waliulloh Wali songo”.
Walaupun bukan Wajib untuk mengetahuinya juga bukan sunnah untuk
menghafalkannya. Akan tetapi sejarah harus di hargai, di lestarikan
untuk kelak dikemudian hari bila ada salah satu dari anak-cucu kita
bertanya kita bisa tahu menjawabnya.
SYEKH MAULANA MALIK IBRAHIM
Senja hampir bergulir di Desa Gapuro, Gresik, Jawa Timur. Tak ada angin,
Awan seperti berhenti berarak. Batu pualam berukir kaligrafi indah itu
terpacak bagaikan saksi sejarah. Itulah nisan makam almarhum Syekh
Maulana Malik Ibrahim, yang wafat pada 12 Rabiul Awal 822 Hijriah, atau 8
April 1419.
Di latar nisan itu tersurat ayat suci Al-Quran: surat Ali Imran 185,
Ar-Rahman 26-27, At-Taubah 21-22, dan Ayat Kursi. Ada juga rangkaian
kata pujian dalam bahasa Arab bagi Malik Ibrahim: ”Ia guru yang
dibanggakan para pejabat, tempat para sultan dan menteri meminta
nasihat. Orang yang santun dan murah hati terhadap fakir miskin. Orang
yang berbahagia karena mati syahid, tersanjung dalam bidang pemerintahan
dan agama.”
Demikian terjemahan bebas inskripsi di nisan pualam makam berbangun
lengkung menyerupai kubah itu. Dalam beberapa sumber sejarah
tradisional, Syekh Maulana Malik Ibrahim disebut sebagai anggota Wali
Songo, tokoh sentral penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Sejarawan
G.W.J. Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang
pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali.
”Ia seorang mubalig paling awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light
on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang
melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein
Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya
diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.
Sekalipun Malik Ibrahim tidak termasuk dalam jajaran Wali Songo, masih
menurut Hoessein, jelas dia adalah seorang wali. Adapun istilah Wali
Songo berasal dari kata ”wali” dan ‘’songo”. Kata wali berasal dari
bahasa Arab, waliyullah, orang yang dicintai Allah –alias kekasih Tuhan.
Kata songo berasal dari bahasa Jawa, yang berarti sembilan.
Ada wali yang termasuk anggota Wali Songo –yang terdiri dari sembilan
orang– dan ada wali yang bukan anggota ”dewan” Wali Songo. Konsep ”dewan
wali” berjumlah sembilan ini diduga diadopsi dari paham Hindu-Jawa yang
berkembang sebelum masuknya Islam. Wali Songo seakan-akan dianalogikan
dengan sembilan dewa yang bertahta di sembilan penjuru mata angin.
Dewa Kuwera bertahta di utara, Isana di timur laut. Indra di timur, Agni
di tenggara, dan Kama di selatan. Dewa Surya berkedudukan di barat
daya, Yama di barat, Bayu, atawa Nayu, di barat laut, dan Siwa di
tengah. Para wali diakui sebagai manusia yang dekat dengan Tuhan. Mereka
ulama besar yang menyemaikan benih Islam di Jawadwipa.
Figur para wali –sebagaimana dikisahkan dalam babad dan ”kepustakaan”
tutur– selalu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang dahsyat. Namun,
hingga sekarang, belum tercapai ”kesepakatan” tetang siapa saja gerangan
Wali nan Sembilan itu. Terdapat beragam-ragam pendapat, masing-masing
dengan alasannya sendiri.
Pada umumnya orang berpendapat, yang terhisab ke dalam Wali Songo
adalah: Syekh Maulana Malik Ibrahim alias Sunan Gresik, Raden Rakhmad
alias Sunan Ampel, Raden Paku alias Sunan Giri, Syarif Hidayatullah
alias Sunan Gunung Jati, Raden Maulana Makdum Ibrahim alias Sunan
Bonang, Syarifuddin alias Sunan Drajat, Jafar Sodiq alias Sunan Kudus,
Raden Syahid alias Sunan Kalijaga, dan Raden Umar Sayid alias Sunan
Muria.
Namun, komposisi Wali nan Sembilan ini juga punya banyak versi. Prof.
Soekmono dalam bukunya, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Jilid
III, tidak memasukkan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam jajaran Wali
Songo. Guru besar sejarah kebudayaan Universitas Indonesia itu justru
menempatkan Syekh Siti Jenar, alias Syekh Lemah Abang, sebagai anggota
Wali Songo.
Sayang, Soekmono tak menyodorkan argumentasi mengapa Maulana Malik
Ibrahim tidak termasuk Wali Songo. Ia hanya menyebut Syekh Siti Jenar
sebagai tokoh sangat populer. Siti Jenar dihukum mati oleh Wali Songo,
karena dinilai menyebarkan ajaran sesat tentang jubuhing kawulo Gusti
(bersatunya hamba dengan Tuhannya), yang dapat mengguncang iman orang
dan menggoyahkan syariat Islam.
Selain itu, Wali Songo juga ditafsirkan sebagai sebuah lembaga, atau
dewan dakwah. Istilah sembilan dirujukkan dengan sembilan fungsi
koordinatif dalam lembaga dakwah itu. Teori ini diuraikan dalam buku
Kisah Wali Songo; Para Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa karya Asnan
Wahyudi dan Abu Khalid.
Kedua penulis itu merujuk pada kitab Kanz Al-’ulum karya Ibn Bathuthah.
Mereka menjelaskan, sebagai lembaga dewan dakwah, Wali Songo paling
tidak mengalami lima kali pergantian anggota. Pada periode awal,
anggotanya terdiri dari Maulana Malik Ibrahim, Ishaq, Ahmad Jumad
Al-Kubra, Muhammad Al-Magribi, Malik Israil, Muhammad Al-Akbar, Maulana
Hasanuddin, Aliyuddin, dan Syekh Subakir.
Pada periode kedua, Raden Rakhmad (Sunan Ampel), Sunan Kudus, Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), dan Sunan Bonang masuk menggantikan
Maulana Malik Ibrahim, Malik Israil, Ali Akbar, dan Maulana Hasanuddin
–yang wafat. Pada periode ketiga, masuk Sunan Giri, menggantikan Ishaq
yang pindah ke Pasai, Aceh, dan Sunan Kalijaga menggantikan Syekh
Subakir yang pulang ke Persia.
Pada periode keempat, Raden Patah dan Fatullah Khan masuk jajaran Wali
Songo. Kedua tokoh ini menggantikan Ahmad Jumad Al-Kubra dan Muhammad
Al-Magribi yang wafat. Sunan Muria menduduki lembaga Wali Songo dalam
periode terakhir. Ia menggantikan Raden Patah, yang naik tahta sebagai
Raja Demak Bintoro yang pertama.
Analisis tersebut secara kronologis mengandung banyak kelemahan.
Contohnya Sunan Ampel, yang diperkirakan wafat pada 1445. Dalam versi
ini disebutkan, seolah-olah Sunan Ampel masih hidup sezaman dengan Sunan
Kudus, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Padahal, Sunan Kudus hidup pada 1540-an.
Adapun Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Sunan
Bonang merupakan guru Sunan Kalijaga, yang berputra Sunan Muria.
Bagaimana mungkin Sunan Ampel hidup sezaman dengan Sunan Muria? Lagi
pula, tokoh Wali Songo yang disebut dalam buku ini –Aliyuddin, Ali
Akbar, dan Fatullah Khan– bukan wali terkenal di Jawa.
Nama mereka jarang ditemukan dalam historiografi tradisional, baik
berupa serat maupun babad. Padahal, di Jawa terdapat puluhan naskah kuno
berupa babad, hikayat, dan serat, yang mengisahkan para wali. Sebagian
besar babad juga menggambarkan, Wali Songo hidup dalam kurun waktu yang
bersamaan.
Para wali, menurut versi babad, dikisahkan sering mengadakan pertemuan
di Masjid Demak dan Masjid ”Sang Cipta Rasa” (Cirebon). Di sana mereka
membicarakan berbagai persoalan keagamanan dan kenegaraan. Kisah semacam
ini, antara lain, dapat dibaca di Babad Demak, Babad Cirebon, dan Babad
Tanah Jawi.
Babad Cirebon, misalnya, mewartakan bahwa pada 1426, para wali berkumpul
di Gunung Ciremai. Mereka mengadakan musyawarah yang dipimpin Sunan
Ampel, membentuk ”Dewan Wali Songo”. Sunan Gunung Jati ditunjuk selaku
wali katib, atau imam para wali. Anggotanya terdiri dari Sunan Ampel,
Syekh Maulana Magribi, Sunan Bonang, Sunan Ngudung alias Sunan Kudus,
Sunan Kalijaga, Sunan Muria, Syekh Lemah Abang, Syekh Betong, dan Sunan
Majagung.
Ditambah dengan Sunan Gunung Jati, jumlah wali itu malah menjadi 10
orang. Nama-nama Wali Songo yang tertulis di Babad Cirebon tersebut
berbeda dengan yang tersurat di Babad Tanah Jawi. Dalam Babad Tanah
Jawi, yang berasal dari Jawa Tengah, tidak ditemukan nama Syekh Betong
dan Syekh Majagung. Sebagai gantinya, akan dijumpai nama Sunan Giri dan
Sunan Drajat.
Tapi, peran Wali Songo jelaslah tak sebatas di bidang keagamaan. Mereka
juga bertindak selaku anggota dewan penasihat bagi raja. Bahkan, Sunan
Giri membentuk dinasti keagamaan, dan secara politis berkuasa di wilayah
Gresik, Tuban, dan sekitarnya. Ia mengesahkan penobatan Joko Tingkir
sebagai Raja Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya, setelah kekuasaan Raja
Demak surut.
Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang
juga dianggap sebagai wali. Hanya, biasanya mereka berkuasa di kawasan
tak seberapa luas. Sunan Tembayat, misalnya, dikenal sebagai pedakwah di
Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Ia
dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga.
Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki
Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf
dan T.H. Pigeuad, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran
gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga. Pada 1512,
Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya.
”Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,” tulis De Graaf
dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ”Pasangan
bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan batin, sembari
berdakwah,” kedua pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda,
itu menambahkan.
Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita
pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai
guru mengaji. Di sana selama 25 tahun, Pandanarang hidup sebagai orang
suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di
situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir,
menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali
dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ”Kemudian, pada
1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan
makam Tembayat,” tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang
suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini, menurut De Graaf,
sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad
ke-17.
Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari
Yogyakarta, yang ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali
diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini, bukti sejarah itu
tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ”Dengan begitu, legenda itu
punya inti kebenaran,” tulis De Graaf, yang dijuluki ”Bapak Sejarah
Jawa”.
Selain Sunan Tembayat –menurut versi Babad Tanah Jawi– Sunan Kalijaga
juga punya murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap
nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah, dalam pengembaraannya, Sunan
Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap
nira.
Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada
Allah. Ketika Ki Cokro berzikir, mendadak gula yang ia buat dari nira
itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru
kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya,
Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia
datang lagi.
Setahun kemudian, Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia
memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro, yang berzikir di tengah
hutan. Mereka kesulitan menemukannya, karena tempat berzikir ki Cokro
telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan, setelah
murid-murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro
sujud ke kiblat.
Tubuhnya hangus, alias geseng, dimakan api. Tapi, penyadap nira ini
masih bugar, mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga
membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama
Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke
utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng
Gribik.
Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah
beratap gribik –anyaman daun nyiur. Menurut legenda setempat, ketika Ki
Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk
Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada
ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian.
Kia Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem
seraya mengucapkan zikir: Ya-Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun
kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda
Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ”Ya-Qowiyyu” pada
setiap bulan Syafar.
Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul
jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton.
Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid, kue
apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya-Qowiyyu…. Ribuan orang
yang menghadiri upacara memperebutkan apem ”gotong royong” itu.
Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang
para wali. Legenda keagamaan yang ditulis babad, menurut De Graaf,
sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang mengenai wali-wali terkemuka,
katanya, ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka masih tetap
merupakan tempat yang sangat dihormati. Pada kurun abad ke-16 hingga
abad ke-17, keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam
sejarah politik Jawa.
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh,
meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening
malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak,
bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam
sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat
mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian
mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai
Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri
–yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas
istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton,
sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri
mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam
berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang
banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris
Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai
ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah
Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan
Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena
Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak
kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum
”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi,
Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan
Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang,
Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali
ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan
Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut
Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu
berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk
wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah
wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua”
para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya.
Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan
Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan
ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman
tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti
Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri.
Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau
Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah
sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of
Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku.
Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi
umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun,
peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana
dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja
peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah
itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit,
Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai
kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah
menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih
dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai
kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana
Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh.
Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak
Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik
mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan
berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang
tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu,
ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang
Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan
saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup
memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus
Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti,
Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang
Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi
Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk
Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu
dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak
sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana
Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha
menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk
membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan,
dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi
Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama
Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu
melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya
ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik,
yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai
Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang
kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak
usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel,
untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”.
Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana
Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi,
mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah
kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali
ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan
segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat
yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah
Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga
diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia
63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur.
1. SUNAN AMPEL
PRABU Sri Kertawijaya tak kuasa memendam gundah. Raja Majapahit itu
risau memikirkan pekerti warganya yang bubrah tanpa arah. Sepeninggal
Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada, kejayaan Majapahit tinggal
cerita pahit. Perang saudara berkecamuk di mana-mana. Panggung judi,
main perempuan, dan mabuk-mabukan menjadi ”kesibukan” harian kaum
bangsawan –pun rakyat kebanyakan.
Melihat beban berat suaminya, Ratu Darawati merasa wajib urun rembuk.
”Saya punya keponakan yang ahli mendidik kemerosotan budi pekerti,” kata
permaisuri yang juga putri Raja Campa itu. ”Namanya Sayyid Ali
Rahmatullah, putra Kakanda Dewi Candrawulan,” Darawati menambahkan.
Tanpa berpikir panjang, Kertawijaya mengirim utusan, menjemput Ali
Rahmatullah ke Campa –kini wilayah Kamboja.
Ali Rahmatullah inilah yang kelak lebih dikenal sebagai Sunan Ampel.
Cucu Raja Campa itu adalah putra kedua pasangan Syekh Ibrahim
Asmarakandi dan Dewi Candrawulan. Ayahnya, Syekh Ibrahim, adalah seorang
ulama asal Samarkand, Asia Tengah. Kawasan ini melahirkan beberapa
ulama besar, antara lain perawi hadis Imam Bukhari.
Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Campa. Ia kemudian diangkat sebagai
menantu. Sejumlah sumber sejarah mencatat silsilah Ibrahim dan
Rahmatullah, yang sampai pada Nabi Muhammad lewat jalur Imam Husein bin
Ali. Tarikh Auliya karya KH Bisri Mustofa mencantumkan nama Rahmatullah
sebagai keturunan Nabi ke-23.
Ia diperkirakan lahir pada 1420, karena ketika berada di Palembang, pada
1440, sebuah sumber sejarah menyebutnya berusia 20 tahun. Soalnya, para
sejarawan lebih banyak mendiskusikan tahun kedatangan Rahmatullah di
Pulau Jawa. Petualang Portugis, Tome Pires, menduga kedatangan itu pada
1443.
Hikayat Hasanuddin memperkirakannya pada sebelum 1446 –tahun kejatuhan
Campa ke tangan Vietnam. De Hollander menulis, sebelum ke Jawa,
Rahmatullah memperkenalkan Islam kepada Raja Palembang, Arya Damar, pada
1440. Perkiraan Tome Pires menjadi bertambah kuat. Dalam lawatan ke
Jawa, Rahmatullah didampingi ayahnya, kakaknya (Sayid Ali Murtadho), dan
sahabatnya (Abu Hurairah).
Rombongan mendarat di kota bandar Tuban, tempat mereka berdakwah
beberapa lama, sampai Syekh Asmarakandi wafat. Makamnya kini masih
terpelihara di Desa Gesikharjo, Palang, Tuban. Sisa rombongan
melanjutkan perjalanan ke Trowulan, ibu kota Majapahit, menghadap
Kertawijaya. Di sana, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk
mendidik moral para bangsawan dan kawula Majapahit.
Sebagai hadiah, ia diberi tanah di Ampeldenta, Surabaya. Sejumlah 300
keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan permukiman di Ampel.
Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi kebebasan mengajarkan
Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan. Selama tinggal di
Majapahit, Rahmatullah dinikahkan dengan Nyai Ageng Manila, putri
Tumenggung Arya Teja, Bupati Tuban.
Sejak itu, gelar pangeran dan raden melekat di depan namanya. Raden
Rahmat diperlakukan sebagai keluarga keraton Majapahit. Ia pun makin
disegani masyarakat. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan
Raden Rahmat ke Ampel. Dari Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo,
berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di sepanjang perjalanan, Raden Rahmat
terus melakukan dakwah.
Ia membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada
penduduk. Mereka cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat.
Pengikutnya pun bertambah banyak. Sebelum tiba di Ampel, Raden Rahmat
membangun langgar (musala) sederhana di Kembang Kuning, delapan
kilometer dari Ampel.
Langgar ini kemudian menjadi besar, megah, dan bertahan sampai sekarang
–dan diberi nama Masjid Rahmat. Setibanya di Ampel, langkah pertama
Raden Rahmat adalah membangun masjid sebagai pusat ibadah dan dakwah.
Kemudian ia membangun pesantren, mengikuti model Maulana Malik Ibrahim
di Gresik. Format pesantrennya mirip konsep biara yang sudah dikenal
masyarakat Jawa.
Raden Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya
menanamkan akidah dan syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat.
Kata ‘’salat” diganti dengan ‘’sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang).
Tempat ibadah tidak dinamai musala, tapi ”langgar”, mirip kata sanggar.
Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari shastri –orang yang tahu buku
suci agama Hindu.
Siapa pun, bangsawan atau rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat.
Meski menganut mazhab Hanafi, Raden Rahmat sangat toleran pada penganut
mazhab lain. Santrinya dibebaskan ikut mazhab apa saja. Dengan cara
pandang netral itu, pendidikan di Ampel mendapat simpati kalangan luas.
Dari sinilah sebutan ”Sunan Ampel” mulai populer.
Ajarannya yang terkenal adalah falsafah ”Moh Limo”. Artinya: tidak
melakukan lima hal tercela. Yakni moh main (tidak mau judi), moh ngombe
(tidak mau mabuk), moh maling (tidak mau mencuri), moh madat (tidak mau
mengisap candu), dan moh madon (tidak mau berzina). Falsafah ini sejalan
dengan problem kemerosotan moral warga yang dikeluhkan Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel sangat memperhatikan kaderisasi. Buktinya, dari sekian putra
dan santrinya, ada yang kemudian menjadi tokoh Islam terkemuka. Dari
perkawinannya dengan Nyai Ageng Manila, menurut satu versi, Sunan Ampel
dikaruniai enam anak. Dua di antaranya juga menjadi wali, yaitu Sunan
Bonang (Makdum Ibrahim) dan Sunan Drajat (Raden Qosim).
Seorang putrinya, Asyikah, ia nikahkan dengan muridnya, Raden Patah,
yang kelak menjadi sultan pertama Demak. Dua putrinya dari istri yang
lain, Nyai Karimah, ia nikahkan dengan dua muridnya yang juga wali.
Yakni Dewi Murtasiah, diperistri Sunan Giri, dan Dewi Mursimah, yang
dinikahkan dengan Sunan Kalijaga.
Sunan Ampel biasa berbeda pendapat dengan putra dan murid-mantunya yang
juga para wali. Dalam hal menyikapi adat, Sunan Ampel lebih puritan
ketimbang Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga pernah menawarkan untuk
mengislamkan adat sesaji, selamatan, wayang, dan gamelan. Sunan Ampel
menolak halus.
”Apakah tidak khawatir kelak adat itu akan dianggap berasal dari Islam?”
kata Sunan Ampel. ”Nanti bisa bidah, dan Islam tak murni lagi.”
Pandangan Sunan Ampel didukung Sunan Giri dan Sunan Drajat. Sementara
Sunan Kudus dan Sunan Bonang menyetujui Sunan Kalijaga. Sunan Kudus
membuat dua kategori: adat yang bisa dimasuki Islam, dan yang sama
sekali tidak.
Ini mirip dengan perdebatan dalam ushul fiqih: apakah adat bisa
dijadikan sumber hukum Islam atau tidak. Meski demikian, perbedaan itu
tidak mengganggu silaturahmi antarpara wali. Sunan Ampel memang dikenal
bijak mengelola perbedaan pendapat. Karena itu, sepeninggal Maulana
Malik Ibrahim, ia diangkat menjadi sesepuh Wali Songo dan mufti (juru
fatwa) se-tanah Jawa.
Menurut satu versi, Sunan Ampel-lah yang memprakarsai pembentukan Dewan
Wali Songo, sebagai strategi menyelamatkan dakwah Islam di tengah
kemelut politik Majapahit. Namun, mengenai tanggal wafatnya, tak ada
bukti sejarah yang pasti. Sumber-sumber tradisional memberi titimangsa
yang berbeda.
Babad Gresik menyebutkan tahun 1481, dengan candrasengkala ”Ngulama
Ampel Seda Masjid”. Cerita tutur menyebutkan, beliau wafat saat sujud di
masjid. Serat Kanda edisi Brandes menyatakan tahun 1406. Sumber lain
menunjuk tahun 1478, setahun setelah berdirinya Masjid Demak. Ia
dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, di areal seluas 1.000 meter
persegi, bersama ratusan santrinya.
Kompleks makam tersebut dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter.
Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan
karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus
makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih. Setiap hari, penziarah ke
makam Sunan Ampel rata-rata 1.000 orang, dari berbagai pelosok Tanah
Air.
Jumlahnya bertambah pada acara ritual tertentu, seperti saat Haul Agung
Sunan Ampel ke-552, awal November lalu. Pengunjungnya membludak sampai
10.000 orang. Kalau makam Maulana Malik Ibrahim sepi penziarah di bulan
Ramadhan, makam Sunan Ampel justru makin ramai 24 jam pada bulan puasa.
2. SUNAN GIRI
SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh,
meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening
malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ”Kelak,
bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.” Pesan yang tak
terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam
sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat
mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian
mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai
Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ”giri” berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri
–yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas
istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton,
sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri
sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri
mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam
berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ”Memang
banyak orang yang tidak tahu situs ini,” kata Muhammad Hasan, Sekretaris
Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai
ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah
Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan
Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena
Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak
kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum
”putihan”, aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi,
Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan
Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang,
Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali
ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ”Aliran Tuban” –Sunan
Kalijaga cs– ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut
Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu
berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk
wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah
wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ”ketua”
para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya.
Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan
Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan
ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman
tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti
Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri.
Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau
Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah
sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of
Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku.
Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi
umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun,
peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana
dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja
peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah
itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit,
Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai
kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah
menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih
dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai
kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana
Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh.
Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak
Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik
mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan
berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang
tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu,
ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang
Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan
saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup
memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus
Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti,
Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ”referensi” tentang
Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi
Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk
Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu
dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak
sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana
Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha
menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk
membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan,
dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi
Sekardadu –yang sedang mengandung tujuh bulan– agar anaknya diberi nama
Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu
melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya
ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik,
yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai
Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang
kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak
usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel,
untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ”Maulana `Ainul Yaqin”.
Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana
Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi,
mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah
kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali
ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan
segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat
yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah
Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga
diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia
63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten
Gresik, Jawa Timur.
3. SUNAN BONANG
Tamba ati iku lima sak warnane
Maca Qur’an angen-angen sak maknane
Kaping pindo, sholat wengi lakonana
Kaping telu, wong kang soleh kencanana
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe
MENURUT tembang ini, ada lima macam ”penawar hati”, atau pengobat jiwa
yang ‘’sakit”. Yakni membaca Al-Quran, mengerjakan salat tahajud,
bersahabat dengan orang saleh, berzikir, dan hidup prihatin. Inilah pula
yang sering dilantunkan Emha Ainun Nadjib bersama Kelompok Kyai
Kanjeng, dalam sejumlah pergelarannya.
Di luar acara Emha, Tamba Ati hingga kini masih kerap dinyanyikan
sejumlah santri di pesantren dan masjid di sejumlah desa. Tapi Cak Nun
–demikian Emha biasa disapa– bukan pencipta ”lagu” itu. Tembang ini
adalah peninggalan Raden Maulana Makdum Ibrahim, yang lebih dikenal
sebagai Sunan Bonang.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang menyanyikan Tamba Ati untuk menarik
warga masyarakat agar memeluk Islam. Pada saat berdendang, pria yang
diduga berusia 60 tahun itu menabuh gamelan dari kuningan, yang dibuat
oleh sejumlah warga Desa Bonang, Jawa Timur. Nama desa inilah yang
kemudian melekat pada gelar sang Sunan.
Meski terampil, Sunan Bonang bukan putra penabuh gamelan. Ia justru
putra Sunan Ampel, yang menikah dengan Condrowati, alias Nyai Ageng
Manila. Nyai Ageng merupakan anak angkat Ario Tedjo, Bupati Tuban. Tidak
ada catatan mengenai tanggal kelahiran Raden Makdum. Diduga, ia lahir
di daerah Bonang, Tuban, pada 1465.
Sunan Ampel semula memberi ia nama Maulana Makdum. Nama ini diambil dari
bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena
kedudukannya dalam agama. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat
pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Tak
heran jika dia pun, kemudian, terhisab ke dalam Wali nan Sembilan.
Sunan Ampel kemudian mengirim Sunan Bonang ke Negeri Pasai, Aceh masa
kini. Di sana Sunan Bonang menuntut ilmu pada Syekh Awwalul Islam, ayah
kandung Raden Paku alias Sunan Giri. Bersama Raden Paku, ia juga belajar
pada sejumlah ulama besar yang banyak menetap dan mengajar di Pasai,
seperti ulama ahli tasawuf dari Baghdad, Mesir, dan Iran.
Pulang dari menuntut ilmu, Sunan Bonang diminta Sunan Ampel berdakwah di
Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau Bawean di utara Pulau Jawa.
Seperti halnya Raden Paku alias Sunan Giri, yang mendirikan pesantren di
Gresik, Sunan Bonang juga mendirikan pesantren di Tuban.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap menggunakan kesenian rakyat untuk
menarik simpati masyarakat, antara lain dengan seperangkat gamelan
Bonang. Bila dipukul dengan kayu lunak, bonang itu melantunkan bunyi
yang merdu. Bila Sunan Bonang sendiri yang menabuhnya, gaung sang bonang
sangat menyentuh hati para pendengarnya.
Masyarakat yang mendengarnya berbondong-bondong datang ke masjid. Sunan
Bonang lalu menerjemahkan makna tembangnya. Karena kekuatan suaranya itu
pula, Sunan Bonang juga mendapat julukan lain: Sang Mahamuni. Tembang
itu berisi ajaran Islam, sehingga tanpa sengaja mereka telah diberi
penghayatan baru.
Pada masa itu, daerah Bonang masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Majapahit, yang mayoritas –dan ”resmi”– beragama Hindu. Kebetulan, para
penganut Hindu ketika itu sangat akrab dengan musik gamelan. Pengaruh
gendingnya cukup melegenda. Bahkan gamelan itu telah menjadi bagian dari
cerita kesaktian Sunan Bonang.
Misalnya dikisahkan, ia pernah menaklukkan Kebondanu, seorang pemimpin
perampok, dan anak buahnya, hanya menggunakan tembang dan gending Dharma
dan Mocopat. Begitu gending ditabuh, Kebondanu dan anak buahnya tidak
mampu menggerakkan tubuhnya. ”Ampun… hentikan bunyi gamelan itu. Kami
tak kuat,” begitu konon kata Kebondanu.
Setelah diminta bertobat, Kebondanu dan gerombolannya pun menjadi
pengikut Sunan Bonang. Tapi, kesaktian Sunan Bonang tak hanya terletak
pada gamelan dan gaungnya. Cerita lain mengisahkan seorang brahmana,
yang berlayar dari India ke Tuban. Tujuannya: ingin mengadu kesaktian
dengan Sunan Bonang.
Namun, sebelum mendarat di Tuban, kapalnya dihajar ombak. Akibatnya,
kitab-kitab kesaktiannya hanyut terbawa air. Beruntung, sang brahmana
berhasil mencapai pantai. Di tepian laut itu ia berjumpa dengan seorang
pria berjubah putih. Kepada pria itu ia menyatakan ingin berjumpa dengan
Sunan Bonang untuk uji kesaktian.
Tapi, demikian katanya, ia tak lagi mampu melakukannya, karena semua
kitabnya sudah raib di telan ombak. Pria berjubah itu mencabut
tongkatnya yang tertancap di pasir pantai. Air muncrat dari lobang bekas
tongkat itu… bersama semua kitab sang brahmana. Setelah pria tadi
menyebut namanya, yang tiada lain daripada Sunan Bonang, Brahmana itu
berlutut.
Pada masa hidupnya, Sunan Bonang termasuk penyokong kerajaan Islam
Demak, dan ikut membantu mendirikan Masjid Agung Demak. Oleh masyarakat
Demak ketika itu, ia dikenal sebagai pemimpin bala tentara Demak. Dialah
yang memutuskan pengangkatan Sunan Ngudung sebagai panglima tentara
Islam Demak.
Ketika Sunan Ngudung gugur, Sunan Bonang pula yang mengangkat Sunan
Kudus sebagai panglima perang. Nasihat yang berharga diberikan pula pada
Sunan Kudus tentang strategi perang menghadapi Majapahit. Selain itu,
Sunan Bonang dipandang adil dalam membuat keputusan yang memuaskan
banyak orang, melalui sidang-sidang ”pengadilan” yang dipimpinnya.
Misalnya dalam kisah pengadilan atas diri Syekh Siti Jenar, alias Syekh
Lemah Abang. Lokasi ”pengadilan” itu sendiri punya dua versi. Satu versi
mengatakan, sidang itu dilakukan di Masjid Agung Kasepuhan, Cirebon.
Tapi, versi lain menyebutkan, sidang itu diselenggarakan di Masjid Agung
Demak. Sunan Bonang juga berperan dalam pengangkatan Raden Patah.
Dalam menyiarkan ajaran Islam, Sunan Bonang mengandalkan sejumlah kitab,
antara lain Ihya Ulumuddin dari al-Ghazali, dan Al-Anthaki dari Dawud
al-Anthaki. Juga tulisan Abu Yzid Al-Busthami dan Syekh Abdul Qadir
Jaelani. Ajaran Sunang Bonang, menurut disertasi JGH Gunning dan
disertasi BJO Schrieke, memuat tiga tiang agama: tasawuf, ussuludin, dan
fikih.
Ajaran tasawuf, misalnya, menurut versi Sunan Bonang menjadi penting
karena menunjukkan bagaimana orang Islam menjalani kehidupan dengan
kesungguhan dan kecintaannya kepada Allah. Para penganut Islam harus
menjalankan, misalnya, salat, berpuasa, dan membayar zakat. Selain itu,
manusia harus menjauhi tiga musuh utama: dunia, hawa nafsu, dan setan.
Untuk menghindari ketiga ”musuh” itu, manusia dianjurkan jangan banyak
bicara, bersikap rendah hati, tidak mudah putus asa, dan bersyukur atas
nikmat Allah. Sebaliknya, orang harus menjauhi sikap dengki, sombong,
serakah, serta gila pangkat dan kehormatan. Menurut Gunning dan
Schrieke, naskah ajaran Sunan Bonang merupakan naskah Wali Songo yang
relatif lebih lengkap.
Ajaran wali yang lain tak ditemukan naskahnya, dan kalaupun ada, tak
begitu lengkap. Di situ disebutkan pula bahwa ajaran Sunan Bonang
berasal dari ajaran Syekh Jumadil Kubro, ayahanda Maulana Malik Ibrahim,
yang menurunkan ajaran kepada Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat,
Sunan Kalijaga, dan Sunan Muria.
Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean, pada 1525. Saat akan dimakamkan, ada
perebutan antara warga Bawean dan warga Bonang, Tuban. Warga Bawean
ingin Sunan Bonang dimakamkan di pulau mereka, karena sang Sunan sempat
berdakwah di pulau utara Jawa itu. Tetapi, warga Tuban tidak mau terima.
Pada malam setelah kematiannya, sejumlah murid dari Bonang mengendap ke
Bawean, ”mencuri” jenazah sang Sunan.
Esoknya, dilakukanlah pemakaman. Anehnya, jenazah Sunan Bonang tetap
ada, baik di Bonang maupun di Bawean! Karena itu, sampai sekarang, makam
Sunan Bonang ada di dua tempat. Satu di Pulau Bawean, dan satunya lagi
di sebelah barat Masjid Agung Tuban, Desa Kutareja, Tuban. Kini kuburan
itu dikitari tembok dengan tiga lapis halaman. Setiap halaman dibatasi
tembok berpintu gerbang.
4. SUNAN KUDUS
MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari
Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25
kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia
dilahirkan, dan diberi nama Ja’far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil
perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan
Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal
sebagai panglima perang yang tangguh.
Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan
Majapahit. Setelah itu, Ja’far Shodiq menggantikan posisi ayahnya.
Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk
memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja’far Shodiq terbukti hebat
di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya.
Ja’far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur
mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian
memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja’far Shodiq. Misalnya, sebelum
perang, Ja’far Shodiq diberi badong –semacam rompi– oleh Sunan Gunung
Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang.
Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga
ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin
mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang
langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan
tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon.
Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada
pasukan Ja’far Shodiq. Usai perang, Ja’far Shodiq menikahi putri Adipati
Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya,
Ja’far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan
Bonang, yang menghasilkan satu anak.
Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja’far Shodiq makin kokoh.
Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat,
yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat
merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging
–wilayah Boyolali– dan sekitarnya.
Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir.
Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang
mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan
sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara
kandung.
Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak
menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan
sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah
ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah
memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu.
Raden Patah memerintahkan Ja’far Shodiq ”meredam” Kebo Kenanga. Dalam
sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja’far Shodiq
sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang
kepindahannya ke Kudus, Ja’far Shodiq tidak lagi menjadi panglima
perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.
Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja’far Shodiq dari Demak. Ada
kemungkinan, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak.
Kemungkinan lain, Ja’far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga.
Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja’far Shodiq memiliki murid, Pangeran
Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga
sebagai guru baru.
Bagi Ja’far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru
sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja’far Shodiq
berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain
dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega,
maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud.
Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam
Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya
tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum
mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai
Bethok ke tubuh Rangkud.
Versi lain menyebutkan, Ja’far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan
pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya
untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja’far Shodiq
tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan
Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang
aktivitas Ja’far Shodiq di sana.
Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja’far Shodiq menginjakkan kaki di
Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat,
yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang
menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling
Sing, orang Cina beragama Islam.
Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum
kedatangan Ja’far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja’far
Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di
Tajug, Ja’far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam
kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja’far Shodiq itu merupakan
para santri yang dibawanya dari Demak.
Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja’far Shodiq
memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu
merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja’far Shodiq untuk menggarap
tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja’far Shodiq mula-mula hidup
dari penghasilan menggarap lahan pertanian.
Setelah jamaahnya makin banyak, Ja’far Shodiq kemudian membangun masjid
sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang
diyakini dibangun oleh Ja’far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang
kini masih berdiri. Nama Ja’far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid
tersebut.
Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama
dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang
artinya, ”… Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds…” Sangat
jelas bahwa Ja’far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa,
setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.
Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah
menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja’far Shodiq sendiri lebih terkenal
dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus
mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ”tutwuri
handayani”. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal,
melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka,
Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat
Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau,
bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari
penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.
Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia
mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah,
yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk
lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak
meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan
arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di
halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai
asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan
masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik
haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar
di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah
penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan
Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan
suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya
kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya
berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan
kepada kota dimana Ja’far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian
diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal
dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di
dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : “Al kuds the
usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call
it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really
meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew
bethamikdath, but it because applied to the whole town.”
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug
dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk
mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk
bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus
mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa.
Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari
aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid.
Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya
untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai
seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya,
Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat
sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain
dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta
bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa :
gudigen ), sehingga oleh kawan – kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah
kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan
berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk
mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia – sia belaka.
Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa – jasa
baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali.
Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah
kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak
pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah
batu sebagai kenang – kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi
pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang
terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang
pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus
memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka
disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia
ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri
sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs.
Jawa : ingak – inguk), tiba – tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah
selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat
singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba – tiba muncul
denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa
tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan
Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus
maupun lawang kembar, masing – masing di bawa oleh beliau dengan di
bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di
pindahkan beliau dari Majapahit.
LEGENDA DAERAH JEMBER
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak
menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah.
sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan
Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta
berputar – putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka
beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini
menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat
kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun
meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa :
ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan
Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya,
dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang
tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam “Babad Tanah Jawi” serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan,
bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin
tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa
Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena
keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat
yang baru saja memeluk agama Islam.
5. SUNAN GUNUNG JATI
DI KOMPLEKS pemakaman Gunung Sembung, sering terlihat penziarah
–perorangan atau rombongan– dari kalangan etnis Cina. Sama dengan para
saudaranya dari kalangan Islam, umat Buddha dan Konghucu itu bertujuan
menyekar pemakaman yang terletak di Desa Astana, sekitar tiga kilometer
di barat kota Cirebon, Jawa Barat, itu.
Untuk mereka disediakan ”kavling” khusus di sisi barat serambi depan
kompleks pemakaman. Tentu bukan karena diskriminasi. ”Kami tak
membeda-bedakan penziarah,” kata Yusuf Amir, salah seorang juru kunci
kompleks pemakaman. ”Penziarah muslim ataupun nonmuslim semuanya bisa
berdoa di sini,” Yusuf, 36 tahun, menambahkan.
Pemisahan tempat semata-mata karena ritual yang berbeda. Di sayap barat
itu terdapat makam Ong Tien, salah seorang istri Syarif Hidayatullah,
yang lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Dia adalah putri
Kaisar Hong Gie dari Dinasti Ming. Banyak versi tentang perjodohan
mereka. Yang paling spekatakuler tentulah versi ”nujum bertuah” Sunan
Gunun Jati.
Syahdan, dalam persinggahannya di Cina, Syarif Hidayatullah menyebarkan
Islam sambil berpraktek sebagai tabib. Setiap yang datang berobat
diajarinya berwudu dan diajak salat. Manjur, si sakit sembuh. Dalam
waktu singkat, nama Syarif Hidayatullah semerbak di kota raja. Kaisar
pun kemudian tertarik menjajal kesaktian ‘’sinse” dari Tanah Pasundan
itu.
Syarif Hidayatullah dipanggil ke istana. Sementara itu, Kaisar menyuruh
putrinya yang masih gadis, Lie Ong Tien, mengganjal perutnya dengan
baskom, sehingga tampak seperti hamil, kemudian duduk berdampingan
dengan saudarinya yang memang sedang hamil tiga bulan. Syarif
Hidayatullah disuruh menebak: mana yang bener-benar hamil.
Syarif Hidayatullah menunjuk Ong Tien. Kaisar dan para ”abdi dalem”
ketawa terkekeh. Tapi, sejurus kemudian, istana geger. Ong Tien ternyata
benar-benar hamil, sedangkan kandungan saudarinya justru lenyap. Kaisar
meminta maaf kepada Syarif Hidayatullah, dan memohon agar Ong Tien
dinikahi.
Sejarahwan Prof. Dr. Hoesein Djajadiningrat menyangsikan cerita ini.
Dalam disertasinya di Universitas Leiden, Belanda, 1913, yang berjudul
Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, Hoesein terang-terangan
menyebutkan bahwa lawatan Syarif Hidayatullah ke negeri Cina hanya
legenda.
Tentu tak semua sepakat dengan Hoesein. Meski tak menyebut-nyebut soal
”nujum” itu, dalam buku Sejarah Cirebon, 1990, Pangeran Soelaeman
Sulendraningrat menyebutkan Syarif Hidayatullah memang pergi ke Cina. Ia
sempat menetap di salah satu tempat di Yunan. Ia juga pernah diundang
Kaisar Hong Gie.
Kebetulan, sekretaris kerajaan pada masa itu, Ma Huan dan Feishin, sudah
memeluk Islam. Dalam pertemuan itulah Syarif Hidayatullah dan Ong Tien
saling tertarik. Kaisar tak setuju. Syarif Hidayatullah lalu
dipersonanongratakan. Tapi, kecintaan Ong Tien kepada Syarif
Hidayatullah sudah sangat mendalam.
Dia mendesak terus ayahnya agar diizinkan menyusul kekasihnya ke
Cirebon. Setelah mendapat izin, Ong Tien bertolak ke Cirebon dengan
menggunakan kapal layar kerajaan Cina. Dia dikawal Panglima Lie Guan
Cang, dengan nakhoda Lie Guan Hien. Putri membawa barang-barang berharga
dari Istana Kerajaan Cina, terutama berbagai barang keramik.
Barang-barang kuno ini kini masih terlihat di sekitar Keraton Kasepuhan
atau Kanoman, bahkan di kompleks pemakaman Gunung Sembung. Dari Ong
Tien, Syarif Hidayatullah tak beroleh anak. Putri Cina itu keburu
meninggal setelah empat tahun berumah tangga. Besar kemungkinan, sumber
yang dirujuk P.S. Sulendraningrat adalah Carita Purwaka Caruban Nagari.
Naskah yang ditemukan pada l972 ini ditulis oleh Pangeran Arya Cirebon
pada 1720. Banyak sejarahwan menilai, kisah Syarif Hidayatullah yang
ditulis dalam kitab tersebut lebih rasional dibandingkan dengan legenda
yang berkembang di masyarakat. Belakangan diketahui, Pangeran Arya
mendasarkan penulisannya pada Pustaka Negara Kertabumi.
Naskah yang termaktub dalam kumpulan Pustaka Wangsa Kerta itu ditulis
pada 1677-1698. Naskah ini dianggap paling dekat dengan masa hidup
Syarif Hidayatullah, alias Sunan Gunung Jati. Dia lahir pada 1448, wafat
pada 1568, dan dimakamkan di Pasir Jati, bagian tertinggi ”Wukir
Saptarengga”, kompleks makam Gunung Sembung.
Carita sering dirujuk para sejarahwan kiwari untuk menjungkirbalikkan
penelitian Hoesein Djajadiningrat, yang menyimpulkan bahwa Sunan Gunung
Jati dan Faletehan sebagai orang yang sama. Berdasarkan naskah tersebut,
Sunan Gunung Jati bukan Falatehan, atawa Fatahillah. Tokoh yang lahir
di Pasai, pada 1490, ini justru menantu Sunan Gunung Jati.
Tapi, apa boleh buat, pemikiran Hoesein ini berpengaruh besar dalam
penulisan sejarah Indonesia. Buku-buku sejarah Indonesia, sejak zaman
kolonial sampai Orde Baru, sering menyebut Fatahillah sebagai Sunan
Gunung Jati. Padahal, di Gunung Sembung, Astana, masing-masing tokoh itu
punya makam sendiri.
”Tak satu pun naskah asli Cirebon yang menyebutkan Sunan Gunung Jati
sama dengan Fatahillah,” kata Dadan Wildan, seperti tertulis dalam
disertasinya, Cerita Sunan Gunung Jati: Keterjalinan Antara Fiksi dan
Fakta – Suatu Kajian Pertalian Antarnaskah Isi, dan Analisa Sejarah
dalam Naskah-Naskah Tradisi Cirebon.
Dadan berhasil meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Universitas
Padjadjaran, Bandung, September lalu. Naskah yang ditelitinya, selain
Carita Purwaka Caruban Nagari, adalah Caruban Kanda (1844), Babad Cerbon
(1877), Wawacan Sunan Gunung Jati, Sajarah Cirebon, dan Babad Tanah
Sunda –yang ditulis pertengahan abad ke-20.
Di naskah-naskah itulah bertebaran mitos kesaktian Sunan Gunung Jati,
dari cincin Nabi Sulaiman sampai jubah Nabi Muhammad SAW. Tapi, mengenai
asal usul Syarif Hidayatullah, semuanya sepakat ia berdarah biru, baik
dari garis ayah maupun garis ibu. Ayahnya Sultan Mesir, Syarif Abdullah.
Ibunya adalah Nyai Lara Santang.
Setelah menikah, putri raja Siliwangi dan adik Pangeran Walangsungsang
itu memakai nama Syarifah Mudaim. Lara Santang dan Walangsungsang
memperdalam agama Islam di Cirebon, berguru pada Syekh Idlofi Mahdi yang
asal Baghdad. Syekh Idlofi terkenal juga dengan sebutan Syekh Djatul
Kahfi atau Syekh Nurul Jati. Setelah khatam, keduanya disuruh ke Mekkah
menunaikan ibadah haji.
Di situlah, seperti dikisahkan dalam Carita Purwakan Caruban Nagari,
mereka bertemu dengan Patih Kerajaan Mesir, Jamalullail. Patih ini
ditugasi Sultan Mesir, Syarif Abdullah, mencari calon istri yang
wajahnya mirip dengan permaisurinya yang baru meninggal. Lara Santang
kebetulan mirip, lalu diboyong ke Mesir.
Walasungsang pulang ke Jawa, kemudian jadi penguasa Nagari Caruban
Larang –cikal bakal kerajaan Cirebon. Sejak itu dia lebih dikenal dengan
sebutan Pangeran Cakrabuana. Dari perkawinan Syarif Abdullah-Syarifah
Mudaim lahir Syarif Hidayatullah, pada 1448. Dalam usia 20 tahun, Syarif
Hidayatullah pergi ke Mekah untuk memperdalam pengetahuan agama.
Selama empat tahun ia berguru kepada Syekh Tajuddin Al-Kubri dan Syekh
Ata’ullahi Sadzili. Kemudian ia ke Baghdad untuk belajar tasauf, lalu
kembali ke negerinya. Di Mesir, oleh pamannya, Raja Onkah, Syarif
Hidayatullah hendak diserahi kekuasaan. Namun Syarif menolak, dan
menyerahkan kekuasaan itu kepada adiknya, Syarif Nurullah.
Syarif Hidayatullah bersama ibunya pulang ke Cirebon, dan pada l475 tiba
di Nagari Caruban Larang yang diperintah pamannya, Pangeran Cakrabuana.
Empat tahun kemudian Pangeran Cakrabuana mengalihkan kekuasannnya
kepada Syarif Hidayatullah, setelah sebelumnya menikahkan Syarif
Hidayatullah dengan putrinya, Ratu Pakungwati.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi
Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu
Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian
dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu
Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
6. SUNAN KALIJAGA
HUTAN Jatiwangi, pada suatu masa. Di rindang lebat pepohonan jati di
kawasan Lasem, Rembang, Jawa Tengah, itu dua lelaki berbeda umur tegak
berhadapan. Yang satu pemuda berpakaian serba hitam. Di depannya seorang
pria lebih tua, dibalut busana serba putih. Sebatang tongkat menyangga
tubuhnya.
Pemuda berbaju hitam itu bernama Lokajaya, berandal yang gemar membegal
pejalan yang melewati hutan Jatiwangi. Ia silau oleh kemilau kuning
keemasan gagang tongkat yang dibawa pria berjubah putih. Siapa pun orang
berjubah putih itu, layaklah ia menjadi mangsa Lokajaya. Dan ketika
tongkat itu direbut, orang tua tadi sama sekali tak berlawan.
Ia tersungkur di tanah, kehilangan keseimbangan. Tongkat berkepala emas
itu berpindah tangan. Bangkit dari jatuhnya, orang tua itu memberi
nasihat, dengan tutur kata lembut. Nasihat inilah yang mengubah jalan
hidup Lokajaya. Ia menjadi murid orang tua itu –yang tiada lain daripada
Sunan Bonang. Lokajaya sendiri kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Begitulah legenda Sunan Kalijaga mengalir, dalam berbagai versi. Jalan
hidup sunan yang satu ini tercantum dalam berbagai naskah kuno, babad,
serat, hikayat, atau hanya cerita tutur turun-temurun. Mudah dipahami
kalau muatannya berbeda-beda. Begitu pula halnya dengan asal-usul Sunan
Kalijaga.
Menurut Babad Tanah Jawi, Sunan Kalijaga adalah putra Wilwatikta,
Adipati Tuban. Nama aslinya Raden Said, atau Raden Sahid. Menurut babad
dan serat, Sunan Kalijaga juga disebut Syekh Malaya, Raden Abdurrahman,
dan Pangeran Tuban. Gelar ”Kalijaga” sendiri punya banyak tafsir.
Ada yang menyatakan, asalnya dari kata jaga (menjaga) dan kali (sungai).
Versi ini didasarkan pada penantian Lokajaya akan kedatangan Sunan
Bonang selama tiga tahun, di tepi sungai. Ada juga yang menulis, kata
itu berasal dari nama sebuah desa di Cirebon, tempat Sunan Kalijaga
pernah berdakwah.
Kelahiran Sunan Kalijaga pun menyimpan misteri. Ia diperkirakan lahir
pada 1430-an, dihitung dari tahun pernikahan Kalijaga dengan putri Sunan
Ampel. Ketika itu Sunan Kalijaga diperkirakan berusia 20-an tahun.
Sunan Ampel, yang diyakini lahir pada 1401, ketika menikahkan putrinya
dengan Sunan Kalijaga, berusia 50-an tahun.
Sunan Kalijaga dilukiskan hidup dalam empat era pemerintahan. Yakni masa
Majapahit (sebelum 1478), Kesultanan Demak (1481-1546), Kesultanan
Pajang (1546-1568), dan awal pemerintahan Mataram (1580-an). Begitulah
yang dinukilkan Babad Tanah Jawi, yang memerikan kedatangan Sunan
Kalijaga ke kediaman Panembahan Senopati di Mataram.
Tak lama setelah itu, Sunan Kalijaga wafat. Jika kisah itu benar, Sunan
Kalijaga hidup selama sekitar 150-an tahun! Tapi, lepas dari berbagai
versi itu, kisah Sunan Kalijaga memang tak pernah padam di kalangan
masyarakat pesisir utara Jawa Tengah, hingga Cirebon. Terutama caranya
berdakwah, yang dianggap berbeda dengan metode para wali yang lain.
Ia memadukan dakwah dengan seni budaya yang mengakar di masyarakat.
Misalnya lewat wayang, gamelan, tembang, ukir, dan batik, yang sangat
populer pada masa itu. Babad dan serat mencatat Sunan Kalijaga sebagai
penggubah beberapa tembang, di antaranya Dandanggula Semarangan –paduan
melodi Arab dan Jawa.
Tembang lainnya adalah Ilir-Ilir, meski ada yang menyebutnya karya Sunan
Bonang. Lariknya punya tafsir yang sarat dengan dakwah. Misalnya tak
ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar. Ungkapan ijo royo-royo
bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam, sebagai agama baru,
diamsalkan penganten anyar, alias pengantin baru.
Peninggalan Sunan Kalijaga lainnya adalah gamelan, yang diberi nama
Kanjeng Kyai Nagawilaga dan Kanjeng Kyai Guntur Madu. Gamelan itu kini
disimpan di Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, seiring dengan
berpindahnya kekuasan Islam ke Mataram. Pasangan gamelan itu kini
dikenal sebagai gamelan Sekaten.
Karya Sunan Kalijaga yang juga menonjol adalah wayang kulit. Ahli
sejarah mencatat, wayang yang digemari masyarakat sebelum kehadiran
Sunan Kalijaga adalah wayang beber. Wayang jenis ini sebatas kertas yang
bergambar kisah pewayangan. Sunan Kalijaga diyakini sebagai penggubah
wayang kulit.
Tiap tokoh wayang dibuat gambarnya dan disungging di atas kulit lembu.
Bentuknya berkembang dan disempurnakan pada era kejayaan Kerajaan Demak,
1480-an. Cerita dari mulut ke mulut menyebut, Kalijaga juga piawai
mendalang. Di wilayah Pajajaran, Sunan Kalijaga lebih dikenal sebagai Ki
Dalang Sida Brangti.
Bila sedang mendalang di kawasan Tegal, Sunan Kalijaga bersalin nama
menjadi Ki Dalang Bengkok. Ketika mendalang itulah Sunan Kalijaga
menyisipkan dakwahnya. Lakon yang dimainkan tak lagi bersumber dari
kisah Ramayana dan Mahabarata. Sunan Kalijaga mengangkat kisah-kisah
carangan.
Beberapa di antara yang terkenal adalah lakon Dewa Ruci, Jimat
Kalimasada, dan Petruk Dadi Ratu. Dewa Ruci ditafsirkan sebagai kisah
Nabi Khidir. Sedangkan Jimat Kalimasada tak lain perlambang dari kalimat
syahadat. Bahkan kebiasan kenduri pun jadi sarana syiarnya.
Sunan Kalijaga mengganti puja-puji dalam sesaji itu dengan doa dan
bacaan dari kitab suci Al-Quran. Di awal syiarnya, Kalijaga selalu
berkeliling ke pelosok desa. Menurut catatan Prof. Husein Jayadiningrat,
Kalijaga berdakwah hingga ke Palembang, Sumatera Selatan, setelah
dibaiat sebagai murid Sunan Bonang.
Di Palembang, ia sempat berguru pada Syekh Sutabaris. Cuma, keberadaan
Sunan Kalijaga di ”bumi Sriwijaya” itu tidak meninggalkan catatan
tertulis. Hanya disebut dalam Babad Cerbon, Sunan Kalijaga tiba di
kawasan Cirebon setelah berdakwah dari Palembang. Konon, Kalijaga ingin
menyusul Sunan Bonang, yang pergi ke Mekkah.
Tapi, oleh Syekh Maulana Magribi, Kalijaga diperintahkan balik ke Jawa.
Babad Cerbon menulis, Sunan Kalijaga menetap beberapa tahun di Cirebon,
persisnya di Desa Kalijaga, sekitar 2,5 kilometer arah selatan kota.
Pada awal kedatangannya, Kalijaga menyamar dan bekerja sebagai pembersih
masjid Keraton Kasepuhan.
Di sinilah Sunan Kalijaga bertemu dengan Sunan Gunung Jati. Kisah
pertemuannya rada-rada aneh. Sunan Gunung Jati sengaja menguji Kalijaga
dengan sebongkah emas. Emas itu ditaruh di padasan, tempat orang
mengambil wudu. Kalijaga sendiri tak kaget mengingat ajaran Sunan Ampel,
”ojo gumunan lan kagetan” (jangan mudah heran dan terkejut).
Ia ”menyulap” emas menjadi batu bata, dan menjadikannya tempat menaruh
bakiak bagi orang yang berwudu. Giliran Sunan Gunung Jati yang takjub.
Ia pun ”menganugerahkan” adiknya, Siti Zaenah, untuk diperistri Sunan
Kalijaga. Hanya beberapa tahun Sunan Kalijaga dikisahkan menetap di
Cirebon.
Dakwahnya berlanjut ke arah timur, lewat pesisir utara sampai ke
Kadilangu, Demak. Di sinilah diyakini Sunan Kalijaga menetap lama hingga
akhir hayatnya. Kadilangu merupakan tempat Sunan Kalijaga membina
kehidupan rumah tangga. Istri yang disebut-sebut hanyalah Dewi Sarah,
putri Maulana Ishak.
Pernikahan dengan Dewi Sarah itu membuahkan tiga anak, satu di antaranya
Raden Umar Said, yang kelak bergelar Sunan Muria. Sunan Muria dan Sunan
Kudus tergolong satu aliran dalam berdakwah dengan Sunan Kalijaga.
Metode dakwah aliran Kalijaga itu amat keras ditentang Sunan Ampel,
mertuanya, dan Sunan Drajat, kakak iparnya.
Hingga kini para pengikut ajaran Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan
Kudus dikenal dengan sebutan kelompok ”Islam abangan”. Julukan ini
hingga kini melekat pada masyarakat di sepanjang pesisir utara, dari
Demak, Semarang, Tegal, hingga Cirebon. Selain dakwah dengan kontak
budaya, kisah spektakuler lainnya adalah pendirian Masjid Agung Demak.
Babad Demak menyebutkan, masjid itu berdiri pada 1477, berdasarkan
candrasengkala ”Lawang Trus Gunaning Janma” –bermakna angka 1399 tahun
Saka. Kisah pendirian Masjid Agung Demak sendiri banyak bercampur dengan
dongeng. Masih belum jelas, benarkah kesembilan wali berada di tempat
ini dalam satu waktu.
Untuk keperluan dakwah, Syarif Hidayatullah pada tahun itu juga menikahi
Ratu Kawunganten. Dari pernikahan ini, dia dikarunia dua putra, Ratu
Winahon dan Pangeran Sabangkingking. Pangeran Sabangkingking kemudian
dikenal sebagai Sultan Hasanudin, dan diangkat jadi Sultan Banten. Ratu
Winahon, yang lebih dikenal dengan sebutan Ratu Ayu, dinikahkah dengan
Fachrulllah Khan, alias Faletehan.
7. SUNAN MURIA
RADEN Umar Said sedang asyik berceramah di padepokannya di Desa Colo,
Kecamatan Dawe, Kudus, ketika seorang pemuda datang berkunjung. Tanpa
tedeng aling-aling, pemuda itu, Raden Bambang Kebo Anabrang, mengaku
sebagai putra Raden Umar. Raden Umar terkejut mendengarnya. Ia segera
membantah dan mengusir Kebo Anabrang.
Tetapi, Kebo Anabrang tetap bersikeras, tak mau meninggalkan padepokan
sebelum Raden Umar mengaku sebagai ayahnya. Karena terus didesak, Raden
Umar akhirnya mengalah. Tapi dengan satu syarat: Kebo Anabrang harus
memindahkan salah satu pintu gerbang Kerajaan Majapahit di Trowulan,
Mojokerto, ke padepokannya dalam semalam. Padahal, jaraknya mencapai
sekitar 350 kilometer.
Berkat kesaktian Kebo Anabrang, pintu gerbang itu enteng saja
dipikulnya. Tetapi, dalam perjalanan, Kebo Anabrang dihadang Raden
Ronggo dari Kadipaten Pasatenan Pati. Raden Ronggo juga memerlukan
gerbang itu untuk mempersunting Roro Pujiwati, putri Kiai Ageng Ngerang.
Siapa saja yang sanggup membawa gerbang Majapahit itu ke Juana berhak
melamar Roro Pujiwati.
Terjadilah pertarungan sengit. Masing-masing mengeluarkan kesaktiannya.
Raden Umar terpaksa turun langsung melerai pertengkaran itu. ”Siapa yang
sanggup mengangkat pintu gerbang, dialah yang berhak,” kata Raden Umar.
Ternyata, hanya Kebo Anabrang yang sanggup mengangkatnya. Ia pun
melanjutkan perjalanan.
Tapi, apa lacur. Begitu melangkahkan kaki, terdengar kokok ayam
bersahutan, pertanda pagi menjelang. Padahal, ia baru mencapai Dusun
Rondole, Desa Muktiharjo, yang bejarak lima kilometer dari kota Pati.
Konon, sampai kini pintu gerbang itu masih berdiri dan dikeramatkan
penduduk setempat.
Itulah satu cuplikan cerita rakyat tentang Raden Umar Said, yang tak
lain adalah Sunan Muria. Padepokannya di Colo terletak di lereng Gunung
Muria, sekitar 800 meter di atas permukaan laut. Toh, kalaupun Kebo
Anabrang berhasil, ia akan sulit menuliskan silsilahnya. Maklum, sampai
kini belum ada telaah yang jelas mengenai asal-usul Sunan Muria.
Satu versi menyebutkan, Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Ahli
sejarah A.M. Noertjahjo (1974) dan Solihin Salam (1964, 1974) yakin
dengan versi ini. Berdasarkan penelusuran mereka, pernikahan Sunan
Kalijaga dengan Dewi Saroh binti Maulana Is-haq memperoleh tiga anak,
yakni Sunan Muria, Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Versi lain memaparkan, Sunan Muria adalah putra Raden Usman Haji alias
Sunan Ngudung. Karya R. Darmowasito, Pustoko Darah Agung, yang berisi
sejarah dan silsilah wali dan raja-raja Jawa, menyebutkan Sunan Muria
sebagai putra Raden Usman Haji. Bahkan ada juga yang menyebutnya
keturunan Tionghoa.
Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindhu-Jawa dan Timbulnya
Negara-negara Islam di Nusantara (1968), Prof. Dr. Slamet Muljana
menyebutkan ayah Sunan Muria, Sunan Kalijaga, tak lain seorang kapitan
Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Sunan Muria disebut ”tak pandai berbahasa
Tionghoa karena berbaur dengan suku Jawa”.
Slamet mengacu pada naskah kuno yang ditemukan di Klenteng Sam Po Kong,
Semarang, pada 1928. Pemerintahan Orde Baru ketika itu khawatir penemuan
Slamet ini mengundang heboh. Akibatnya, karya Slamet itu masuk dalam
daftar buku yang dilarang Kejaksaan Agung pada 1971. Sayang sekali,
belum ada telaah mendalam mengenai berbagai versi itu.
Sejauh ini, karya Umar Hasyim, Sunan Muria: Antara Fakta dan Legenda
(1983), bolehlah digolongkan penelitian awal yang mencoba menelusuri
silsilah Sunan Muria secara lebih ilmiah. Ia berusaha membedakan cerita
rakyat dengan fakta. Misalnya tentang Sunan Muria sebagai keturunan
Tionghoa.
Umar mengumpulkan sejumlah pendapat ahli sejarah. Ternyata, keabsahan
naskah kuno tadi meragukan, karena telah bercampur dengan dongeng
rakyat. Walau begitu, Umar mengaku kadang-kadang terpaksa mengandalkan
penafsirannya dalam menelusuri jejak Sunan Muria. Hasilnya, Umar
cenderung pada versi Sunan Muria sebagai putra Sunan Kalijaga.
Toh, dari berbagai versi itu, tak ada yang meragukan reputasi Sunan
Muria dalam berdakwah. Gayanya ”moderat”, mengikuti Sunan Kalijaga,
menyelusup lewat berbagai tradisi kebudayaan Jawa. Misalnya adat kenduri
pada hari-hari tertentu setelah kematian anggota keluarga, seperti
nelung dino sampai nyewu, yang tak diharamkannya.
Hanya, tradisi berbau klenik seperti membakar kemenyan atau menyuguhkan
sesaji diganti dengan doa atau salawat. Sunan Muria juga berdakwah lewat
berbagai kesenian Jawa, misalnya mencipta macapat, lagu Jawa. Lagu
sinom dan kinanti dipercayai sebagai karya Sunan Muria, yang sampai
sekarang masih lestari.
Lewat tembang-tembang itulah ia mengajak umatnya mengamalkan ajaran
Islam. Karena itulah, Sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat
jelata ketimbang kaum bangsawan. Maka daerah dakwahnya cukup luas dan
tersebar. Mulai lereng-lereng Gunung Muria, pelosok Pati, Kudus, Juana,
sampai pesisir utara.
Cara dakwah inilah yang menyebabkan Sunan Muria dikenal sebagai sunan
yang suka berdakwah topo ngeli. Yakni dengan ”menghanyutkan diri” dalam
masyarakat. Sampai kini, kompleks makam Sunan Muria, yang terletak di
Desa Colo, tak pernah sepi dari penziarah. ”Kurang lebih ada sekitar
15.000 penziarah tiap hari,” tutur Muhammad Shohib, Ketua Yayasan Masjid
dan Makam Sunan Muria.
Mereka berasal dari seluruh pelosok Nusantara. ”Bahkan ada yang datang
dari luar negeri, terutama dari negara Islam,” kata Shohib. Biasanya,
kata Shohib, para penziarah ingin mendapat berkah untuk melicinkan
usaha, atau mengharap jabatan yang lebih tinggi. Maka tak mengherankan,
banyak juga pejabat negara yang datang ke makam Sunan Muria.
Dalam daftar tamu pengurus yayasan yang disodorkan Shohib, terdapat
beberapa nama pejabat teras Jakarta. Menteri Koordinator Bidang Politik,
Sosial, dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono, tercatat berziarah ke
makam Sunan Muria pada 21 Oktober lalu. Mantan Ketua Dewan Koperasi
Indonesia, Prof. Sri Edi Swasono, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal
Tyasno Sudarto, dan Mantan Kepala Kepolisian RI, Jenderal Roesmanhadi,
juga pernah membubuhkan namanya di buku tamu.
Tentu saja tak ketinggalan mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid, yang
memang rajin bertandang ke makam-makam. Menurut Shohib, Gus Dur
berziarah beberapa pekan sebelum lengser dari kursi kepresidenan. ”Hanya
saja, ia tak mau mengisi buku tamu,” kata Shohib. Di kalangan pejabat
yang hobi berziarah, kata Shohib, berkembang kepercayaan, jika sudah
berkunjung ke makam Sunan Muria, jangan berziarah ke makam Sunan Kudus.
Jarak kedua makam memang tak begitu jauh, sekitar 19 km. ”Itu pantangan.
Kalau berkunjung ke makam Sunan Kudus, bisa kehilangan jabatan,” kata
Shohib. Contohnya Menteri Penerangan kabinet Orde Baru, H. Harmoko.
”Setelah tak menjabat, baru Pak Harmoko mengunjungi makam Sunan Kudus,”
kata Shohib.
8. SUNAN GRESIK
Matahari baru saja tenggelam di Desa Tanggulangin, Gresik, Jawa Timur.
Rembulan dan bintang giliran menyapa dengan sinarnya yang elok. Penduduk
desa tampak ceria menyambut cuaca malam itu. Sebagian mereka berbincang
santai di beranda, duduk lesehan di atas tikar. Mendadak terdengar
suara gemuruh. Makin lama makin riuh.
Sejurus kemudian, dari balik pepohonan di perbatasan desa terlihat
gerombolan pasukan berkuda –berjumlah sekitar 20 orang. Warga
Tanggulangin berebut menyelamatkan diri –bergegas masuk ke rumahnya
masing-masing. Kawanan tak diundang itu dipimpin oleh Tekuk Penjalin. Ia
berperawakan tinggi, kekar, dengan wajah bercambang bauk.
”Serahkan harta kalian,” sergah Penjalin, jawara yang tak asing di
kawasan itu. ”Kalau menolak, akan kubakar desa ini.” Tak satu pun
penduduk yang sanggup menghadapi. Mereka memilih menyelamatkan diri,
daripada ”ditekuk-tekuk” oleh Penjalin. Merasa tak digubris, kawanan itu
siap menghanguskan Tanggulangin.
Obor-obor hendak dilemparkan ke atap rumah-rumah penduduk. Tetapi,
mendadak niat itu terhenti. Sekelompok manusia lain, berpakaian
putih-putih, tiba-tiba muncul entah dari mana. Rombongan ini dipimpin
Syekh Maulana Malik Ibrahim, ulama terkenal yang mulai meluaskan
pengaruhnya di wilayah Gresik dan sekitarnya.
Ghafur, seorang murid Syekh, maju ke depan. Dengan sopan ia mengingatkan
kelakuan tak terpuji Penjalin. Penjalin tentu tak terima. Apalagi,
orang yang mengingatkannya sama sekali tak dikenal di rimba persilatan
Gresik. Dalam waktu singkat, terjadilah pertarungan seru. Penduduk
Tanggulangin, yang melihat pertempuran itu, rame-rame keluar, lalu
membantu Ghafur.
Akhirnya, Penjalin dan pasukannya kocar-kacir. Tapi, Penjalin tak mau
menuruti perintah Ghafur agar membubarkan anak buahnya. Ghafur tak punya
pilihan lain, ia harus membunuh Penjalin. Baru saja tiba pada keputusan
itu, tiba-tiba wajahnya diludahi Penjalin. Ghafur marah sekali. Aneh,
di puncak kemarahan itu, ia malah melangkah surut.
Penjalin terperangah. ”Mengapa tak jadi membunuh aku?” ia bertanya.
Ghafur menjawab, ”Karena kamu telah membuatku marah, dan aku tak boleh
menghukum orang dalam keadaan marah.” Mendengar ”dakwah” ini, disusul
oleh perbincangan singkat, Penjalin dan gerombolannya menyatakan
tertarik memeluk agama Islam.
Petikan di atas merupakan satu dari dua kisah populer tentang perjalanan
dakwah Syekh Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Sunan
Gresik. Satu cerita lagi yang kerap ditulis pengarang buku-buku Maulana
Malik Ibrahim adalah pertemuannya dengan sekawanan kafir di tengah
padang pasir.
Ketika itu, mereka hendak menjadikan seorang gadis sebagai tumbal
meminta hujan kepada dewa. Pedang sudah dihunus. Sunan Gresik
mendinginkan mereka dengan pembicaraan yang lembut, kemudian memimpin
salat Istisqa’ –untuk memohon hujan. Tak lama kemudian langit
mencurahkan butir-butir air, Kawanan kafir itu memeluk agama Islam.
Di kalangan Wali Songo, Maulana Malik Ibrahim disebut-sebut sebagai wali
paling senior, alias wali pertama. Ada sejumlah versi tentang asal usul
Syekh Magribi, sebutan lain Sunan Gresik itu. Ada yang mengatakan ia
berasal dari Turki, Arab Saudi, dan Gujarat (India). Sumber lain
menyebutkan ia lahir di Campa (Kamboja).
Setelah cukup dewasa, Maulana Malik Ibrahim diminta ayahnya, Barebat
Zainul Alam, agar merantau, berdakwah ke negeri selatan. Maka, bersama
40 anggota rombongan yang menyertainya, Malik mengarungi samudra
berhari-hari. Mereka kemudian berlabuh di Sedayu, Gresik, pada 1380 M.
Mengenai tahun ”pendaratan” ini pun terdapat beberapa versi.
Buku pegangan juru kunci makam Maulana Malik Ibrahim, misalnya,
mencantumkan tahun 1392. Beberapa naskah lain bahkan menyebut tahun
1404. Rombongan Malik kemudian menetap di Desa Leran, sekitar sembilan
kilometer di barat kota Gresik. Ketika itu, Gresik berada di bawah
Kerajaan Majapahit.
Dari sinilah Malik mulai meluncurkan dakwahnya, dengan gaya menjauhi
konfrontasi. Sebagian besar masyarakat setempat ketika itu menganut
Hindu, ”agama resmi” Kerajaan Majapahit. Sunan melalukan sesuatu yang
sangat sederhana: membuka warung. Ia menjual rupa-rupa makanan dengan
harga murah.
Dalam waktu singkat, warungnya ramai dikunjungi orang. Malik melangkah
ke tahap berikutnya: membuka praktek sebagai tabib. Dengan doa-doa yang
diambil dari Al-Quran, ia terbukti mampu menyembuhkan penyakit. Sunan
Gresik pun seakan menjelma menjadi ”dewa penolong”. Apalagi, ia tak
pernah mau dibayar.
Di tengah komunitas Hindu di kawasan itu, Sunan Gresik cepat dikenal,
karena ia sanggup menerobos sekat-sekat kasta. Ia memperlakukan semua
orang sama sederajat. Berangsur-angsur, jumlah pengikutnya terus
bertambah. Setelah jumlah mereka makin banyak, Sunan Gresik mendirikan
masjid.
Ia juga merasa perlu membangun bilik-bilik tempat menimba ilmu bersama.
Model belajar seperti inilah yang kemudian dikenal dengan nama
pesantren. Dalam mengajarkan ilmunya, Malik punya kebiasaan khas:
meletakkan Al-Quran atau kitab hadis di atas bantal. Karena itu ia
kemudian dijuluki ”Kakek Bantal”.
Kendati pengikutnya terus bertambah, Malik merasa belum puas sebelum
berhasil mengislamkan Raja Majapahit. Ia paham betul, tradisi Jawa sarat
dengan kultur ”patron-client”. Rakyat akan selalu merujuk dan
berteladan pada perilaku raja. Karena itu, mengislamkan raja merupakan
pekerjaan yang sangat strategis.
Tetapi Malik tahu diri. Kalau ia langsung berdakwah ke raja, pasti tak
akan digubris, karena posisinya lebih rendah. Karena itu ia meminta
bantuan sahabatnya, yang menjadi raja di Cermain. Konon, Kerajaan
Cermain itu ada di Persia. Tetapi J. Wolbers, dalam bukunya Geschiedenis
van Java, menyebut Cermain tak lain adalah Kerajaan Gedah, alias Kedah,
di Malasyia.
Raja Cermain akhirnya datang bersama putrinya, Dewi Sari. Mereka
disertai puluhan pengawal. Dewi yang berwajah elok itu akan
dipersembahkan kepada Raja Majapahit. Dari sini, bercabang-cabanglah
cerita mengenai ”Raja Majapahit” itu.. Ada yang menyebut raja itu Prabu
Brawijaya V. Tetapi menurut Wolbers, raja tersebut adalah Angkawijaya.
Repotnya, menurut Umar Hasyim dalam bukunya, Riwayat Maulana Malik
Ibrahim, nama Angkawijaya tidak dikenal, baik dalam Babad Tanah Jawi
maupun Pararaton. Nama Angkawijaya tercantum dalam Serat Kanda. Di situ
disebutkan, dia adalah pengganti Mertawijaya, alias Damarwulan –suami
Kencana Wungu.
Angkawijaya mempunyai selir bernama Ni Raseksi. Tetapi, kalau dicocokkan
dengan Babad Tanah Jawi, raja Majapahit yang mempunyai selir Ni Raseksi
adalah Prabu Brawijaya VII. Cuma, menurut catatan sejarah, Prabu
Brawijaya VII memerintah pada 1498-1518. Periode ini jadi ”bentrokan”
dengan masa hidup Maulana Malik Ibrahim.
Melihat tahunnya, kemungkinan besar raja yang dimaksud adalah Hyang
Wisesa, alias Wikramawardhana, yang memerintah pada 1389-1427. Terlepas
dari siapa sang raja sebenarnya, yang jelas penguasa Majapahit itu
akhirnya bersedia menemui rombongan Raja Cermain. Sayang, usaha mereka
gagal total.
Sang raja cuma mau menerima Dewi Sari, tetapi menolak masuk Islam.
”Bargaining” seperti ini tentu diotolak rombongan Cermain. Sebelum
pulang ke negerinya, rombongan Cermain singgah di Leran. Sambil menunggu
perbaikan kapal, mereka menetap di rumah Sunan Gresik.
Malang tak bisa ditolak, tiba-tiba merajalelalah wabah penyakit. Banyak
anggota rombongan Cermain yang tertular, bahkan meninggal. Termasuk Dewi
Sari. Raja Cermain dan sebagian kecil pengawalnya akhirnya bisa pulang
ke negeri mereka. Sunan Gresik sendiri tak patah hati dengan kegagalan
”misi” itu. Ia terus melanjutkan dakwahnya hingga wafat, pada 1419.
9. SUNAN DRAJAT
Diantara para wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak.
Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih
banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya
Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana
Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan
Masaikh Munat.
Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila,
alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan
Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka,
yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan
Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang
mengungkapkan jejaknya.
Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di
kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia
diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat
Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak
berkembang menjadi legenda.
Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk
nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah
dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim
selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong
ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.
Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di
sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati.
Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana,
Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu
dan Mbah Banjar.
Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya,
yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim
kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah
Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya
menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.
Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun
berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi
Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar
satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari
banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.
Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para
pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat
dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa
Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di
selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai
daerah angker.
Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan
lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan
penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi.
Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya
membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.
Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi
perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai
Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat
tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan
ajaran Islam kepada penduduk.
Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada
1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan
barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu
pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan
kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.
Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan
kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui
perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,”
demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang
menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.
Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan
cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan
menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid
atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren.
Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu
masalah.
Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah
lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga
menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang
kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang
marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan
tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan
pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.
Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan
mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan
terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama
dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling
kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat
magrib.
”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk.
Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan
ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan
Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan
Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam
suatu perjalanan.
Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi
hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang
bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi.
Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga
perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa
Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden
Suryadilaga.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad
Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan
Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat
dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal,
Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.
Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi
‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi
Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil
dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang
menyebutnya Syekh Syarifuddin.
Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan,
lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat,
Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama
Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan
bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai
tiga putra.
Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua
Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang
menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di
Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa
meninggalkan jejak yang meyakinkan.
Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau
belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana
anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel,
Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana
keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih
mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.
SILSILAH WALI 9 (SONGO)
SEMOGA KITA BISA MENELADANI SIFAT-SIFAT PARA WALIALLAH...!!!
I.M. F menyunting dokumen.
BalasHapusKENAPA KETURUNAN WALISONGO SELALU DIFITNAH NASAB DAN KARAKTERNYA?
KENAPA KETURUNANWALISONGO SELALU DIFITNAH NASAB DANKARAKTERNYA?
Fitnah kini banyak menimpa keturunan Walisongo & Azmatkhan. Entah kesalahan apa yang telah dilakukan oleh Keturunan Keluarga Besar Walisongo ini sehingga satu demi satu fitnah menimpa mereka, fitnah yang datang terus menerus itu seolah seperti air bahsaja, dari tahun ketahun tidak pernah berhenti, terutama ditujukan kepada mereka yang berjuang untuk dakwah Islamiah Walisongo baik itu untuk ilmu nasab,Ilmu silsilah, Sejarah, hukum Islam, Khliafah Islamiah, dll. Mereka yang berjuang demi menjaga nasab dan sejarah Walisongo, selalu dijadikan sasaran tembak oleh manusia-manusia yang berjiwa kerdil dan munafik.
Sejak dari masa Sayyid Bahruddin Azmatkhan yang berjuang bersama Mbah Kholil Bangkalan, sebenarnya fitnah itu sudah banyak, namun kedua ulama Azmatkhan ini mampu menahan fitnah itu dengan kesabaran yang tinggi,Sayyid Bahruddin Azmatkhan yang merupakan andalan Mbah Kholil dalam menjaga nasab-nasab keturunan Walisongo bahkancobaan hidupnya sangat luar biasa berat, fitnah-fitnah yang beliau hadapi bukansekali dua kali terjadi, namun berkali-kali, namun dengan kesabaran yang sangatluar biasa, hal itu tidak pernah beliau balas. Beliau tidak pernah marah,beliau justru lebih banyak tersenyum dan terus berkarya, semua fitnah yang beliauhadapi, dihadapi dengan tabah. Tidak heran beliau yang merupakan Ahli NasabSejati dari Azmatkhan tidak pernah mengajarkan dendam kepada anak cucunya.
Sikap sabar Sayyid BahrudddinAzmatkhan dalam menghadapi fitnah dan cobaan, ini adalah warisan ajarankeluarga besar Sunan Kudus dan Walisongo. Sunan Kudus dan Semua Walisongo danKeluarag Kesultanan Azmatkhan seperti Demak, Banten dan Cirebon itu memangsejak dari dulu selalu menjadi target untuk difitnah oleh manusia-manusiaMunafik. Namun Alhamdulilah….Keluarga besar Walisongo bukanlah tipe orang yangpendendam. Lihatlah tidak ada satupun fitnah-fitnah tersebut dihadapi denganfitnah-fitnah. Coba perhatikan blog-blog yang menjelek-jelekkan keluarga besarAzmatkhan, adakah balasannya? Adakah keluarga besar Walisongo juga membuatfitnah dengan membuat blog-blog tandingan yang isinya menghujat nasab dansejarah orang lain?
Terus terang secara pribadi sebenarnyasaya sangat kesal dan marah dengan orang-orang yang sering membuat grup-grupFacebook, Twitter, Blog-blog, wordpress, website-website yang banyak mendeskriditkankeluarga besar Azmatkhan. Sikap kesal dan marah saya adalah hal yang wajar,karena mereka yang membuat website itu tidak pernah mencantumkan dirinyasebagai penanggungjawab. Kalau mereka memang laki-laki seharusnya dirinyamuncul. Bandingkan dengan Website-website berupa blog atau grup-grup FB yangkami buat dengan jelas dan terus terang, itu menandakan jika kamibertanggungjawab. Saya pribadi sering mencantumkan jati diri saya secara jelasdisetiap blog atau grup yang saya buat. Kalau ada yang salah saya siap dikritikdan direvisi jika ada yang tidak sesuai, bahkan jika perlu jika memang ada yangsalah, saya siap untuk minta maaf. Sikap yang saya lakukan seperti ini, buat saya justru menandakan bahwasaya bukanlah manusia yang sempurna, kalau salah ya salah, kalau benar yabenar. Dan untuk urusan yang benarapalagi mengenai nasab, silsilah, sejarah dan kehormatan keluarga besar, makaInsya Allah saya tidak akan pernah mundur setapakpun. Kebenaran adalahkebenaran……Saya yakin Allah akan selalu menjaga orang-orang yang benar.
bersambung....
sambungan
BalasHapusOrang-orang yang sering memfitnah keluarga besar Walisongo ini seringmemajang foto-foto keluarga besar Keturunan Azmatkhan, terutama mereka yangberjuang untuk nasab, silsilah, sejarah dari Walisongo (Azmatkhan) dengan mengatakan bahwa foto dan profil itunasabnya palsu. Apakah mereka itu itu tidak sadar jika perbuatan mereka itutelah menyakiti banyak orang? Atau mereka ini memang masuk golongan manusiamunafik? Berani mencantumkan profil orang lain tetapi tidak beranibertanggungjawab secara jantan.
Mereka sering mengatakan bahwanasab-nasab Keturunan Walisongo ini nasabnya palsu!.
Naudzubilah…….…berani sekalimereka berani berkata seperti itu..
Manusia-manusia golongan munafikini berani mengatakan jika nasab Walisongo yang sekarang ini palsu, bermasalah,dan mengarang-ngarang. Hanya karena oknum-oknum ini sering mengutif pendapatcatatan nasab dari kalangannya, sehingga catatan nasab milik keluarga Walisongotidak mereka akui, padahal catatan nasab Walisongo itu rapi dan tercatatdimasing-masing keluarga yang jumlahnyapuluhan ribu, lha memangnya kitab yang mereka pegang itu Al Qur’an dan Hadist???
Astagfirullah……..….. Masih adarupanya dinegara ini orang-orang yang merasa paling sempurna dalam ilmu nasab dan sejarah yang ada diNusantara ini, masih ada rupanya orang-orang yang merasa bahwa mereka lebihmulia nasabnya dari Walisongo yangnotabenenya sudah 600 tahun bercokol di negeri ini, Masih ada rupanya menganggap mudah bahwa nasab keturunanWalisongo salah……
Kesombongan Jahiliyah kembalimuncul……Kesombongan Nasab jadi patokan manusia-manusia munafik ini…..seolah-olahNasab mereka yang paling agung, padahal datuk-datuk mereka tidak pernahmengajarkan kesombongan nasab. Datuk-datuk mereka justru dahulunya banyak yangberakhlak mulia..
Ya Allah……… AL Faqir sangat malukepada Imam Ahmad Al Muhajir…… beliau yang pernah menanamkan Ahklak sejatiAhlul bait, kini telah banyak ditinggal…kini banyak yang melupakan ajaranbeliau…….
Kini kesombongan nasab selalu diagung-agungkan…beberapaperilaku etnis lebih ditonjolkan………..
Oknum-oknum tersebut seringmenuduh nasab orang palsu, apalagi ini adalah Walisongo & Azmatkhan. Padahaldengan mereka menuduh nasab Keturunan Walisongo palsu, itu berarti nama-namadibawah ini haram nasabnya dinisbatkan kepada Walisongo (Azmatkhan);
bersambung
sambungan
BalasHapus1. SyekhJunaid AL Batawi Azmatkhan (Haramkah nasabnya????)
2. SyekhAhmad Khatib AL Minangkabawi Azmatkhan (HaramkanNasabnya????)
3. SyekhNawawi Banten Azmatkhan (Haramkah nasabnya???)
4. MbahKholil Bangkalan Azmatkhan (Haramkah Nasabnya???)
5. KHHasyim Asy’ary Azmatkhan (HaramkahNasabnya????)
6. KHMuhammad Dahlan Azmatkhan (Haramkah Nasabnya????)
7. SayyidBahruddin Azmatkhan (Haramkah Nasabnya????)
8. KH As’adSyamsul Arifin Azmatkhan (Haramkah Nasabnya???)
9. KyaiMarogan Azmatkhan (Haramkah nasabnya????
10. KHMas Mansur Azmatkhan (Surabaya, HaramkahNasabnya????)
11. GuruMarzuki Betawi (Haramkah Nasabnya????)
12. Guru MansurBetawi (Haramkah Nasabnya????)
13. Ulama-ulamaAzmatkhan dari Banten, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dll. (Haramkahnasab mereka?????)
Dan ribuan nasab-nasab lain………….. APAKAH NASAB MEREKA HARAM??????????
Saya tidak bisa membayangkan,bagaimana dosa orang yang berani mendustakan nasab-nasab para ulama-ulama besartersebut.
Perlu anda ketahui, fitnah inisudah lama dan bertebaran di berbagai website, dan setelah mereka membuat,mereka tidak urus lagi website tersebut. Mereka membuat website memang niatnyajahat, sehingga ketika selesai dibuat, mereka tinggalkan dan tidak diurus (ataumungkin yang membuat anak kecil?. Akibatnya website tersebut sampai sekarangmasih ada dan tidak bisa lagi dihapus. Dari sekian banyak fitnah-fitnah yang bertebaran di website, mungkinanda harus tahu, diantaranya :
1. BERANTASALAWIYIN PALSU (Blog)
2. BERANTASALAWIYYIN GADUNGAN (Blog)
3. AWAS ALAWIYYIN PALSU (Blog)
GRUP-GRUP INI BANYAK MEMFITNAHKELUARGA BESAR AZMATKHAN!!! DAN PENGECUTNYA MEREKA INI, TIDAK ADA SATUPUN YANGBERANI MENCANTUMKAN SIAPA YANG MEMBUAT BLOG-BLOG TERSEBUT.
Terus terang, buat saya ketikaada orang berani menulis sesuatu tapi dia tidak berani bertanggungjawab dengantidak mencantumkan diri, maka orang ini tidak lebih seperti tikus got dan cecunguk saja. Orang-orang seperti inilah yang sering menghancurkan Islamdan Persatuan Bangsa Indonesia. Kerja mereka hanya memfitnah, hati mereka beku dan tidak jauh dari sifat-sifat dengki dan busuk.
ADA JUGA beberapa GRUP FACEBOOK YANG MENGATASNAMAKAN ALAWIYYIN DANDIBUAT OLEH MEREKA YANG MEMBENCI AZMATKHAN (Adminnya dari dulu memang sudah bencidengan Azmatkhan).
Fitnah-fitnah ini sangat dahsyatefeknya bagi keluarga besar keturunan Walisongo dan Azmatkhan. Iya kalau yang sudah tahu tentang siapa tokohdifitnah tersebut, namun bagaimana mereka yang belum tahu tokoh-tokoh tersebut?Mereka yang yang tidak tahu, akhirnya kan nanti bisa menyangka yangtidak-tidak., Kasihan mereka yang tidak tahu menahu, sehingga akhirnyaikut-ikut percaya dengan fitnah-fitnah yang ada diberbagai website itu.
Belum lagi bagaimana dengananak-anak & murid-murid mereka yangayahnya difitnah????
Kita harus tahu, Islam disinitidak akan memiliki wajah yang sekarang, jika 600 tahun yang lalu, keluargabesar Walisongo & Azmatkhan tidak datang ke Nusantara. Melalui Gerakan DakwahWalisongo, bumi Nusantara Islamnyamenjadi mayoritas. Dan Islam yang ada di Indonesia adalah Islam yang santun dantoleran yang berlandaskan Islam Ahlu Sunnah Wal Jama’ah.
Wajah Indonesia sejak masaWalisongo dipenuhi dengan Islam yang damai dan akhlak. Islamnya di Indonesia yang dibawa oleh Walisongo inimengambil ajaran Imam Ahmad Al Muhajir yang merupakan nenek moyangnya AlawiyyinNusantara. Walisongo berhasil meneruskan dakwah seperti yang pernah dilakukanoleh Imam Ahmad Al Muhajir.
Bersabarlah Keluarga BesarWalisongo…
Allah bersama kita……….